Kajian Ilmiah Tentang Hizbiyyah, dan Bagaimanakah Hizbiyyah yang Dilarang oleh Syariat?

Monday, September 6, 2010

by : Abi Abdullah
Diedit dan dirapihkan oleh M. Achiruzaman

Salah satu sifat yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam terjadi pada ummatnya adalah sifat ghuluw (ekstrem) dan tatharruf (menjauh dari kebenaran), yang merupakan sifat yang sangat dilarang oleh syari’ah, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam berikut ini:
“Takutlah kalian terhadap sikap ekstrem dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama.”
Salah satu bentuk dari sikap ghuluw tersebut adalah vonis baru (baca : bid’ah) yang tidak dikenal dalam referensi utama kaum muslimin, laa fil Qur’aan wa laa fis Sunnah, yaitu vonis hizbiyyah. Herannya lagi, bahwa vonis ini dilontarkan oleh sebagian orang yang mengaku-mengaku sebagai pemegang panji-panji Ahlus Sunnah dan pengikut Salafus Shalih, inna liLLAHi wa inna ilayhi raji’un.
Di berbagai forum dan tulisan - sebagian mereka — dengan getolnya melemparkan vonis tersebut kepada sesama saudara mereka muslim, para pejuang As-Sunnah dan penegak kalimat Tauhid, hanya karena mereka yang disebut terakhir ini membuat kelompok, atau partai ataupun jama’ah, yang tujuannya demi memudahkan kerja dakwah mereka. Kemudian mereka sematkanlah berbagai label seperti hizbiyyun, ahlul-hawa’ (para pengikut hawa nafsu), ahlul bid’ah, Sufi yang Sesat, dsb.
Mereka kemudian mencari-mencari dalil untuk membenarkan klaim mereka tersebut, dan memvonis berbagai kelompok kaum muslimin sesama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lalu mereka menemukan ayat yang “kelihatannya” bisa dipakai untuk mendukung klaim mereka itu dan dengan itu mereka berusaha membodohi orang-orang yang bodoh, membingungkan orang yang bingung dan menakut-nakuti orang yang penakut.
Potongan ayat yang mereka dengung-dengungkan dan mereka anggap melarang membuat kelompok, jama’ah atau partai itu menurut mereka yaitu ayat: Kullu hizbin bima ladayhim farihun. (Setiap partai/kelompok/jama’ah merasa bangga/bergembira dengan apa yang ada pada kelompok masing-masing). Kemudian ayat: Innalladzina farraqu dinahum wa kanu syiya’an lasta minhum fi syai’in. (Sesungguhnya orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi berkelompok-kelompok lepas tanggung jawabmu atas mereka wahai Muhammad)
Ikhwan wa akhwat fiLLAH, marilah saya ajak antum semua untuk membuka berbagai rujukan kitab-kitab tafsir karangan Imam Salafus Shalih secara inshaf (obyektif) dan wasith (adil), jauh dari sifat ghuluw wa tatharruf dan jauh dari kepentingan apapun, kecuali ikhlas mencari keridhaan ALLAH SWT semata. Hanya kepada ALLAH-lah kita bertawakkal dan hanya kepada-NYA lah kita akan dikembalikan.
Potongan ayat tersebut terdapat di 3 tempat, potongan yang pertama yaitu di QS Al-Mu’minun, 23/53 dan di QS Ar-Rum, 30/32; lengkapnya adalah sbb:
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. 23/53)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (30/32)
Sementara potongan yang kedua pada QS Al-An’am, 6/159. Lengkapnya adalah sbb:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.” (QS. 6/159)
Makna ayat dalam QS Al-Mu’minun, 23/53 menurut kitab-kitab tafsir adalah sbb:
Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya, bahwa maknanya: “Maka berpecah-belahlah kaum yang diperintahkan oleh ALLAH SWT dari ummat Nabi Isa ‘alayhis salam untuk bersatu atas agama yang satu… Dan setiap firqah tersebut beragama dengan kitab yang berbeda satu dengan yang lain, sebagaimana orang Yahudi memegang kitab Taurat dan mendustakan hukum-hukum dalam kitab Injil dan Al-Qur’an, demikian pula orang-orang Nasrani yang berpegang menurut sangkaan mereka pada kitab Injil dan mendustakan kitab Al-Qur’an.” Dan ini diperkuat oleh makna “ummatan-wahidah” pada ayat sebelumnya, yaitu maknanya menurut Imam At-Thabari: “Innal ummah alladzi fi hadzal maudhu’: Ad-Din wal Millah” (makna ummat dalam konteks ayat ini adalah ummat dalam masalah agama). Jelas bahwa makna “HIZB” dalam ayat tersebut menurut Imam At-Thabari adalah HIZB dalam Ad-Din wal Millah (perbedaan & kelompok-kelompok yang berbeda dalam aqidah), lalu dimanakah letak larangannya jika HIZB tersebut tidak berbeda dalam Ad-Din wal Millah?
Imam Ibnul Jauzy dalam tafsirnya menyatakan bahwa ada 2 pendapat tentang tafsir ayat ini, yaitu pendapat pertama: Mereka adalah Ahli Kitab (Yahudi & Nasrani) dari Mujahid; dan pendapat kedua: Mereka adalah Ahli Kitab & kaum Musyrikin Arab dari Ibnu Sa’ib. Demikian pula pendapat Imam Al-Mawardi dalam tafsirnya, nampak bagi kita semua bahwa larangan tersebut amat jelas yaitu larangan berbeda-berbeda dalam aqidah, atau berbeda dalam kitab suci persis sebagaimana perbedaan Yahudi dan Nasrani atau musyrikin, sama sekali tidak ada larangan yang berkaitan dengan larangan membentuk organisasi, jama’ah atau partai.
Berkata Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya, bahwa makna “kullu hizbin bima ladayhim farihun = bima ‘indahum minad din” (dari apa-apa yang ada disisi mereka dari agama), dalam hal ini beliau mengkaitkan dengan tafsir ayat sebelumnya bahwa makna “fataqaththa’u amrahum = dinahum”, lalu makna “baynahum = berpecah-belah, maka mereka berpecah-belah menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. Demikianlah pendapat para Imam Salafus Shalih mengenai masalah ini, yaitu bahwa HIZB yang dilarang adalah HIZB yang berbeda dalam aqidah dan agama (Ad-Din wal Millah) dan SAMA SEKALI BUKAN HIZB DALAM DAKWAH DAN PERJUANGAN.
Berkata Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya : Bahwa mereka ada yang mengikuti firqah Taurat, firqah Zabur, firqah Injil lalu mereka masing-masing mengubah kitab-kitab tersebut dan menyimpangkan maknanya. Hal ini juga pendapat Imam Al-Biqa’iy dalam tafsirnya, Imam An-Nasafiy dalam tafsirnya, Abu Sa’ud dalam tafsirnya, Imam As-Suyuthi dalam tafsirnya, Imam Al-Khazin dalam tafsirnya, Imam Ats-Tsa’alabiy dalam tafsirnya, dll. Lalu apakah hizb, jama’ah dan partai Islam yang mereka tuduh tersebut mengubah Al-Qur’an? Menyimpangkan makna Al-Qur’an? Seperti firqah Taurat, firqah Zabur dan firqah Injil? Inna liLLAHi wa inna ilayhi ra’jiun.. Ana yakin mereka tidak akan berani menuduh sejauh itu! Qul haatuu burhanakum in kuntum shadiqiin..
HUJJAH KEDUA
Ikhwan wal akhawat rahimakumuLLAH, setelah kita mengetahui tafsir yang dikemukakan oleh para Imam Salafus Shalih atas QS Al-Mu’minun, 23/53 (yang juga sama dengan Ar-Rum, 30/32) tersebut pada kajian yang lalu, maka demikianlah pula tafsir atas QS Al-An’am, 6/159. Lengkapnya ayatnya adalah sbb:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.” (QS. 6/159)
Makna ayat dalam QS Al-An’am, 6/159 menurut kitab-kitab tafsir adalah sbb:
Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya bahwa makna ‘farraqu-dinahum’ dalam ayat tersebut adalah bahwa agama ALLAH SWT ini adalah satu yaitu agama Ibrahim –semoga salam ALLAH baginya-, lalu berpecah-belahlah Yahudi & Nasrani sehingga mereka menjadi agama yang berbeda-berbeda, adapula yang menjadi Majusi sehingga mereka menjauh dari agama yang haq.
Demikianlah tafsir yang benar mengenai masalah ini.
HUJJAH KETIGA
Demikian pula berbagai ayat yang ada dan bertaburan di dalam Al-Qur’an seperti PERINTAH UNTUK MEMBENTUK KELOMPOK KECIL (dari sebuah kelompok besar) sepanjang kelompok kecil tersebut bertujuan untuk berdakwah, berjihad & melakukan amar ma’ruf nahi munkar, salah satunya adalah ayat di bawah ini:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Aali Imraan, 3/104)
Berkata Imam Abu Ja’far At-Thabari ketika mengawali tafsirnya atas ayat ini: Berkata ALLAH Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji: WALTAKUN MINKUM wahai orang-orang beriman; UMMATUN yaitu Jama’ah; YAD’UNA yaitu pada manusia; ILAL KHAYRI yaitu pada Islam & syariatnya yang telah ditetapkan-NYA bagi hamba-hamba-NYA; WA YA’MURUNA BIL MA’RUFI, yaitu memerintahkan manusia untuk mengikuti Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan agama yang dibawanya; WA YANHAUNA ‘ANIL MUNKARI, yaitu mencegah mereka dari kekafiran pada ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- dan penentangan pada Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan dari agama yang dibawanya, yaitu melalui Jihad di jalan-NYA baik dengan tangan maupun anggota badan, sehingga mereka mengikuti dengan ketaatan… (Perhatikanlah bahwa Imam At-Thabari menyebutkan agar ada & terbentuknya suatu jama’ah diantara ummat ini)..
Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahkan lebih maju lagi, beliau dalam tafsirnya setelah menjelaskan berbagai hadits shahih berkaitan ayat ini, menyebutkan atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan: “Bahwa hendaklah ada suatu kaum, baik 1 atau 2 atau 3 kelompok atau lebih dari itu dan itulah baru disebut sebagai ummat.” Kemudian ia berkata lagi: “Lalu (hendaklah) ada imamnya yang memimpin untuk amar ma’ruf & nahi munkar.” Lebih jauh beliau menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzarr -semoga ALLAH Yang Maha Gagah lagi maha Tinggi- meridhoinya- : “Dua orang lebih baik dari 1 orang, 3 orang lebih baik dari 2 orang, dan 4 orang lebih baik dari 3 orang, maka hendaklah kalian bersama Al-Jama’ah, karena ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku kecuali atas petunjuk.”
Imam -Muhyis Sunnah- Abu Muhammad Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa huruf “lam” pada kata “waltakun” bermakna kewajiban.. sementara “min” dalam kata “minkum ummah” bermakna “shilah” dan bukan “lit-tab’idh” (menunjukkan sebagian) sebagaimana dalam ayat: FAJTANIBUR RIJSA MINAL AWTSANI.. Yang maknanya: Hendaklah mereka menjauhi semua berhala & bukan hanya sebagian berhala saja. Kemudian Imam Al-Baghawi menyebutkan beberapa hadits, diantaranya dari Umar -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoinya- Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan puncaknya Jannah maka wajib atasnya menetapi Al-Jama’ah, karena sesungguhnya Syaithan itu bersama orang yang sendirian, dan terhadap 2 orang ia lebih menjauh.”
Imam Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya bahwa makna “ummah” adalah jama’ah, kelompok, sebagaimana dalam ayat yang lain disebutkan: KULLAMAA DAKHALAT UMMATUN LA’ANAT UKHTAHA. Karena asal kata “ummat” dalam bahasa Arab adalah sekelompok orang yang memiliki 1 tujuan yang sama, bisa berupa keturunan, atau agama, atau lainnya, dan kejelasannya diketahui melalui keterkaitannya (idhafah) dengan kata setelahnya, semisal: Ummatul-’Arab atau Ummatun-Nashara, dll.
Imam Abi AbduLLAH Syamsuddin Al-Qurthubi Al-Anshari Al-Khazraji dalam kitabnya berpendapat bahwa “min” dalam kata “minkum ummah” bermakna “lit-tab’idh” (menunjukkan sebagian), karena orang-orang yang memerintahkan yang ma’ruf itu haruslah berilmu, sementara tidak semua orang berilmu, maka kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, jika sebagian kaum muslimin sudah melakukannya maka yang lain tidak berdosa.
Sayyid Quthb -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- menyatakan dalam tafsirnya: “Tidak bisa tidak ayat ini memerintahkan agar terwujudnya sebuah Jama’ah Islamiyyah yang selalu berdakwah kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf & mencegah yang munkar. Dan hendaklah ada sebuah pemerintahan yang tegak berdiri di atas bumi ini melakukan hal tersebut, sehingga ayat ini tidak hanya berbunyi “yad’uuna ” (berdakwah saja) melainkan juga “ya’muruuna” (memerintah) dan “yanhauna” (melarang) yang keduanya itu tidak akan tegak kecuali adanya sebuah pemerintahan yang Islami..” Sampai kata beliau -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- pada akhir penjelasannya atas ayat tersebut: “…Untuk demi tercapainya hal tersebut di atas, maka tidak dapat tidak haruslah ada sebuah kelompok/jama’ah yang memiliki 2 kekuatan di atas yaitu “Iimaanu biLLLAAH” (QS Aali-Imraan, 3/102) dan “Ukhuwwatu-fiLLAAH” (QS Aali-Imraan, 3/103) baru bisa mewujudkan ayat ini (QS Aali-Imraan, 3/104)…
Demikianlah maka berdasarkan dalil2 di atas bahwa tegaknya Al-Jama’ah merupakan dharurah-syar’iyyah, yang kesemuanya tidak akan dapat tegak dengan kerja infiradiyyah (sendiri-sendiri) dan hanya mengharapkan dari tarbiyyah & tashfiyyah saja, melainkan memerlukan suatu tanzhim yang kuat & rapi untuk menggapainya.. Jika dikatakan bahwa As-Salafus Shalih pasca generasi sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- tidak membuat tanzhim, maka saya jawab bahwa dimasa mereka sudah ada Al-Jama’ah & Al-Khilafah, maka haram hukumnya membuat kelompok baru yang berbeda dari Jama’ah kaum muslimin. Adapun sekarang, maka tidak ada Khilafah, tidak ada Al-Jama’ah & tidak ada Al-Hukumah, maka tiada jalan lain kecuali membentuk & mendirikannya.. Dan persoalan ini jauh lebih mendesak & lebih penting dari mendalami & bertele-tele dalam masalah ibadah-mahdhah, cukuplah sunnah para sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang sampai meninggalkan pengurusan & pemakaman jenazah Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- untuk memilih Khalifah menjadi dalil atas hal tersebut.
HUJJAH KEEMPAT
Oleh sebab itu maka seorang yang alim hendaklah berhati-hati dalam berucap dan berfatwa, karena tidak semua orang bisa dibodohi oleh berbagai fatwa yang kelihatan seolah-olah benar dan memvonis tetapi sesungguhnya rapuh dan sangat menyesatkan. Sebagai contoh istilah “madzhabiyyah” adalah buruk & tercela, tapi bermadzhab tidaklah buruk, tidak bid’ah & tidak pula dilarang. Maka demikian pula “hizbiyyah” adalah tercela & buruk, namun demikian membuat hizb seperti beberapa hizb (partai Islam) yang ada di Indonesia, hal tersebut sama sekali tidak ada larangannya, bahkan jika umat sangat membutuhkannya maka ia bisa menjadi berkedudukan mustahabbah bahkan wajib berdasarkan kaidah ushul: Maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib.
HUJJAH KELIMA
Maka mencap orang yang berpartai & berorganisasi sebagai hizbiyyun berdasarkan paparan di atas oleh karenanya adalah sesat & menyesatkan, dan perbuatan ini dalam istilah para Ahli Ilmu dinamakan sebagai tingkat kejahilan ketiga yaitu Al-Jahlu Al-Murakkab (diantara 6 tingkat kejahilan seseorang Tholabul ‘Ilmi). Dan orang-orang seperti ini perlu membaca & mempelajari secara mendalam tentang siyasatus-syar’iyyah, karena serampangan memfatwakan masalah ini akan sangat berbahaya bagi masyarakat, karena semua hal yang berkaitan dengan realitas di masa sekarang akan menjadi bid’ah semua, seperti Presiden juga bid’ah, negara Indonesia ini adalah bid’ah, parlemennya, menterinya, departemennya, dsb semuanya menjadi bid’ah. Dan semua ini dibuktikan dengan fatwa mereka tentang haramnya PEMILU, beberapa waktu yang lalu. Dan jika mereka konsisten, maka kedudukan Raja secara turun-temurun juga adalah bid’ah, karena tidak ditemukan dalam khairal qurun, diamnya sebagian shahabat tidak bisa dijadikan hujah untuk masalah ini, karena mereka diam bukan berarti ridha tetapi berdasarkan fiqh muwazanah pada saat itu. Maka sebagian mereka yang membrontak dan membuat tanzhim pun tidak dihukumi ahli bid’ah, maka siapakah yang berani menyatakan para sahabat sekualitas Al-Husein bin Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, AbduLLAH Ibnu Zubair, dll sebagai ahli bid’ah karena mereka membuat tanzhim, membuat hizb, membuat pasukan perang & kemudian memberontak? Qul haatuu burhaanakum in kuntum shaadiqiin!
KESIMPULAN
Oleh sebab itu, kesimpulannya hizbiyyah adalah semangat fanatisme mazhab, golongan, syaikh, ustaz, ulama, dsb. Dan hizbiyyah bukanlah pada sikap bermazhab pada 1 mazhab, bergolongan atau meminta fatwa pada seorang ulama, syaikh, dsb. Seorang yang membatasi hanya mau menerima fatwa dari Syaikh Fulan dari negara Fulan, misalnya, dan tidak mau menerima fatwa dari selainnya itu adalah sikap hizbiyyah dan orang-orangnya dinamakan hizbiyyun. Demikian pula sikap orang yang memfatwakan bahwa ulama-mujtahid di dunia ini hanya ada 3 orang saja, itu adalah sikap para hizbiyyun. Sikap mencaci para ulama besar yang diakui dunia, kemudian menyebar-nyebarkan isu baik dalam ceramah-ceramah maupun tulisan-tulisan & buku-buku (yang belum dikonfirmasikan dan ditegakkan hujjah kepada sang ulama yang dicurigai tsb), adalah sikap para hizbiyyun. Semoga ALLAH SWT melindungi kita dari sikap hizbiyyah yang amat tercela (qabihah) ini, aaamiin ya RABB…
Al-Ikhwan.net - Right to copy :: 2005 - 2007
Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel-artikel pada situs ini dengan menyebutkan URL sumbernya.

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

Sms Gratis

Pengikut Blog